Kamis, 05 Desember 2013

candi tikus mojokerto



Candi Tikus (Mojokerto, Jawa Timur)

Pengantar
Mojokerto adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur. Di sana, tepatnya di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan ada sebuah candi yang disebut sebagai “Candi Tikus”. Dari pusat kota Mojokerto jaraknya kurang lebih 8 kilometer (ke arah barat daya). Konon, nama Candi Tikus diberikan lantaran ketika dilakukan pembongkaran pada tahun 1914, oleh Bupati Mojokerto R.A.A Kromodjojo Adinegoro, di sekitar candi itu pernah menjadi sarang tikus. Tikus tersebut menyerang desa di sekitarnya. Ketika dilakukan pengejaran kawanan tikus itu selalu masuk ke gundukan tanah. Dan, ketika gundukan tanah itu dibongkar ditemukan sebuah bangunan yang terbuat dari bata merah. Candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14 (zaman Majapahit) ini merupakan salah satu situs arkeologi di Trowulan. Candi ini baru dipugar pada tahun 1985--1989.

Candi ini merupakan replika Gunung Meru, sedangkan gunung tersebut selalu dihubungkan dengan air amerta (air kehidupan) untuk semua makhluk. Secara mitologi Gunung Meru merupakan ceritera pemutaran lautan susu. Jika konsep yang melatar belakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri bentuknya, maka tujuan pembangunan candi tersebut ialah untuk melambangkan adanya air yang keluar dari gunung.

Arsitektur
Arsitektur bangunannya melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber Tirta Amerta (air kehidupan) yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan. Dan, air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.

Gunung meru merupakan gunung suci yang dianggap sebagai pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni, yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara mikrokosmos dan makrokosmos. Menurut konsepsi Hindu, alam semesta terdiri atas suatu benua pusat yang bernama Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan yang dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Jadi, sangat mungkin Candi Tikus merupakan sebuah petirtaan yang disucikan oleh pemeluk Hindu dan Budha, dan juga sebagai pengatur debit air di zaman Majapahit.

Secara umum Candi Tikus berdenah segi empat dengan ukuran 22,50 x 22,50 meter dan tinggi (dari lantai sampai menara candi induk) 5,20 meter. Sedangkan, arahnya menghadap ke utara dengan azimuth 20 derajat. Adapun tangga masuknya berada di sebelah utara. Bahan bangunannya berupa bata dengan ukuran 8x21x36 cm, sedangkan untuk jaladwara (pancuran air) dibuat dari batu andesit. Jaladwara yang terdapat di Candi Tikus ini berjumlah 46 buah dengan bentuk makara dan padma. Selain itu, juga terdapat saluran-saluran air, baik untuk air masuk maupun untuk pembuangan air. Ditinjau dari sudut arsitekturnya, candi terbagi menjadi enam bagian, yaitu bangunan induk, kolam, teras (tiga tingkat), tangga utama, lantai dasar dan pagar.

a. Bangunan Induk
Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan candi yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan puncak yang lebih kecil. Bangunan ini luasnya 7,65x8,75 meter dan tinggi 5,20 meter. Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kaki, tubuh dan atap.

Kaki bangunan berbentuk segi empat dengan profil berpelipit. Pada lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh. Sedangkan, pada sisi luar terdapat jaladwara. Selain itu, terdapat pula menara-menara yang disebut menara kaki bangunan karena adanya bagian kaki bangunan. Ukurannya 80x80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya terdapat pula kaki tubuh tempat iap berdiri menara yang disebut menara tubuh. Selain itu, di setiap bagian dinding tubuh terdapat bangunan menara yang lebih besar dan berukuran 100x140 cm, tinggi 2,78 meter. Susunan menaranya telah menarik perhatian seorang Belanda yang bernama A.J. Bernet Kempers yang mengaitkannya dengan konsepsi religi. Dalam bukunya yang berjudul Ancient Indonesia Art, ia yang telah banyak berjasa dalam menyingkap masa pengaruh agama Hindu-Budha di Indonesia lewat kajian candi-candi yang mengatakan bahwa candi Tikus merupakan replika dari gunung Meru.

b. Kolam
Di sebelah timur laut dan barat laut bangunan induk terletak dua bangunan yang berbentuk kolam dan disebut “kolam barat” dan “kolam timur”. Kolam yang berada di kanan dan kiri tangga masuk ini masing-masing berukuran panjang 3,50 meter, lebar 2 meter, tinggi, 1,50 meter dan tebal dinding 0,80 meter. Pada sisi utara dinding kolam bagian dalam terdapat tiga jaladwara dengan ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai kolam. Bagian luar kolam (sisi selatan) terdapat tangga masuk ke bilik kolam yang lebar 1,20 meter. Di bagian dalamnya terdapat semacam pelipit setebal 3,50 cm. Kemudian, di atas dan bawah tangga masuk sisi timur ada dua saluran air.

c. Dinding Teras
Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya, karena bangunan ada di bawah permukaan tanah. Selain itu, juga sebagai penahan longsor. Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai teras 1,89 meter. Pada kaki terasnya yang berpelipit ada pancuran air yang berbentuk padma dan makara. Sedangkan, di bawah lantai teras terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan diperkirakan saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bangunan induk tersebut (keluar melalui pancuran yang terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara).

Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75x19,50 meter. Lebar lantai 1,50 meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak 17 lapis bata. Sementara, dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25x 22,75 meter dengan lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, dan tebal dinding 10 lapis bata.

d. Tangga Utama
Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik kolam. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter. Sebagai catatan, pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.

e. Lantai Dasar
Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau bidang datar di bagian atasnya. Lantai tersebut tersusun dari dua lapis bata yang luasnya kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini berfungsi sebagai tempat berdirinya bangunan induk, kolam, dinding teras, dan tangga utama.

f. Pagar tembok luar
Pagar tembpk berada di sisi utara, berjarak kurang lebih 0,80 meter dari dinding teras tiga, dan menjadi satu dengan pintu gerbang yang terdapat di tangga masuk

candi bajang ratu mojokerto


Candi Bajang Ratu


Candi Bajang Ratu berlokasi di Desa Temon, Kecamatan Trowulan,  Kabupaten Mojokerto. Jarak dari kota Surabaya lebih kurang 72 km. Untuk menuju ke lokasi tersebut dapat dicapai dengan mudah, baik kendaraan pribadi mobil ataupun roda 2. Jika naik transportasi umum baik bus atau yang lain dari simpang empat Trowulan, selanjutnya dapat mencapai ke sana hanya ojek dengan harga yang terjangkau.
Gapura Bajang Ratu berbentuk Paduraksa (gapura beratap), mempunyai sayap di kanan dan kirinya. Terbuat dari bata kecuali lantai dasarnya terbuat dari batu. Berukuran tinggi: 16.1 m, panjang 11 m dan lebar 6.7 m. Relief yang menghiasi gapura dari atas ke bawah antara lain berupa mata satu, kepala garuda, matahari diapit naga, kepala kala diapit singa, binatang bertelinga panjang. Adapun relief yang bermakna cerita adalah relief Ramayana dan relief Sri Tanjung yang dipahatkan pada bagian sayap.
Gapura Bajang Ratu dihubungkan dengan Prabu Jayanegara, Raja kedua Majapahit, yang meninggal dalam keadaan belum beristri (bujang). Sehingga fungsi yang sebenarnya bukan sebagai pintu masuk menuju keraton Mojopahit melainkan menuju ke suatu bangunan suci, tempat  perabuan Prabu Jayanegara.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾

PATUNG BUDHA TIDUR

THE SLEEPING BUDHA

Siapa yang sangka kalau ternyata Indonesia mempunyai Patung Buddha Tidur (The Sleeping Buddha) terbesar nomor tiga di dunia? Orang-orang tentu semakin terkejut kalau tahu patung itu adanya di kawasan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Saya yang sudah tinggal di Jawa Timur selama tujuh tahun baru tahu keberadaan patung berukuran raksasa ini tahun lalu. Adalah novel ‘Akar’, salah satu buku karya Dewi Dee Lestari dari serial Supernova, yang menginspirasi saya untuk mengunjungi patung ini. Kebetulan episode ‘Akar’ memang banyak bersinggungan dengan ajaran Buddha.
Patung Buddha Tidur Mojokerto 001
Patung Buddha Tidur berukuran raksasa
Patung Buddha Tidur Mojokerto 003
Patung Budda Tidur tampak dari sisi lain
Patung ini dibangun di dalam kompleks Maha Vihara Mojopahit di desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Letaknya sebenarnya cukup strategis karena berada di jalan lintas Surabaya – Mojokerto – Jombang. Jadi kalau mau naik bus dari Surabaya, kita bisa mengambil jurusan Jombang kemudian meminta diturunkan di Trowulan. Dari jalan utama, kita harus berjalan kaki ke kompleks vihara yang cukup tersembunyi di belakang rumah-rumah penduduk.
Saya dan seorang teman yang kala itu datang mengendarai sepeda motor sempat meragu karena setelah masuk dari jalan besar yang kami temui justru kompleks perumahan penduduk. Untungnya setelah bertanya-tanya ke penduduk setempat, kompleks vihara yang dituju kami temukan juga. Suasana kala itu cukup sepi, di parkiran hanya ada satu mobil dan dua sepeda motor. Beberapa pengunjung tampak sedang melaksakan sembahyang, sementara yang lainnya asyik berfoto-foto di depan patung.
Patung Buddha Tidur Mojokerto 005
Gedung Sasono Bhakti
Menurut beberapa sumber di Internet, patung ini mempunyai ukuran panjang 22 m, lebar 6 m, dan tinggi 4,5 m. Pembuatan patung sendiri dilaksanakan pada tahun 1993 oleh YM Viryanadi Maha Tera. Bahannya menggunakan beton yang pemahatannya dikerjakan oleh pengrajin patung asal Trowulan. Selain Patung Buddha Tidur, di dalam kompleks juga terdapat vihara yang dapat digunakan untuk sembahyang oleh umat Buddha yang sedang berkunjung. Di salah satu sudut kompleks, kita juga dapat menemukan miniatur Candi Borobudur dan patung-patung Buddha berukuran lebih kecil dalam berbagai sikap.
Patung Buddha Tidur Mojokerto 004
Miniatur Candi Borobudur
Patung Buddha Tidur Mojokerto 010
Patung Sang Buddha
Tidak jauh dari komplek Maha Vihara Mojopahit ini juga terdapat beberapa candi yang bisa menjadi tujuan lain setelah puas mengabadikan kebesaran Patung Buddha Tidur ke dalam kamera. Daerah Trowulan yang konon merupakan pusat kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya memang menyimpan banyak potensi wisata sejarah. Kabarnya Pemkab Mojokerto sedang menyiapkan museum Mojopahit yang nantinya diharapkan dapat menyediakan informasi terlengkap tentang keberadaan salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara itu.

wisata candi brahu mojokerto


Candi Brahu
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit namun telah diaspal. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km dari jalan raya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan' yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha. Walaupun tak satupun arca Buddha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu memang merupakan candi Buddha. Diperkirakan candi ini didirikan pada abad 15 M.
Candi ini menghadap ke arah Barat, berdenah dasar persegi panjang seluas 18 x 22,5 m dan dengan tinggi yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 m. Sebagaimana umumnya bangunan purbakala lain yang diketemukan di Trowulan, Candi Brahu juga terbuat dari bata merah. Akan tetapi, berbeda dengan candi yang lain, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.
Kaki candi dibangun bersusun dua. Kaki bagian bawah setinggi sekitar 2 m, mempunyai tangga di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi tubuh candi. Dari selasar pertama terdapat tangga setinggi sekitar 2 m menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat lubang semacam pintu pada ketinggian sekitar 2 m dari selasar kedua. Mungkin dahulu terdapat tangga naik dari selasar kedua menuju pintu di tubuh candi, namun saat ini tangga tersebut sudah tidak ada lagi, sehingga sulit bagi pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di tubuh candi. Konon ruangan di dalam cukup luas sehingga mampu menampung sekitar 30 orang. Di kaki, tubuh maupun atap candi tidak didapati hiasan berupa relief atau ukiran. Hanya saja susunan bata pada kaki, dinding tubuh dan atap candi diatur sedemikian rupa sehingga membentuk gambar berpola geometris maupun lekukan-lekukan yang indah.
Candi Brahu mulai dipugar tahun 1990 dan selesai tahun 1995. Menurut masyarakat di sekitarnya, tidak jauh dari Candi Brahu dahulu terdapat beberapa candi lain, seperti Candi Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah dan Candi Gentong, yang sekarang sudah tidak terlihat.